amriania@gmail.com +62 853 4258 2944

Dewi Lamsang adalah Desa Wisata Alam Pattallassang merupakan sebuah kawasan yg terletak di ujung selatan Kelurahan Kalabbirang. Pattallassang (bhs Makassar) artinya tempat sumber kehidupan, seperti hamparan sawah yg menghasilkan makanan pokok dan sayuran, sumber mata air yg melimpah dan sungai serta danau dengan kekayaan floranya berupa ikan, kepiting dan udang air tawar. Masyarakat di kawasan Pattallassang ini menggunakan bahasa Makassar Konjo Pegunungan sebagai bahasa sehari-hari di samping bahasa Bugis dan bahasa Indonesia.

Sebagai sebuah kawasan wisata, yaitu Leang Surukang, Pattallassang dan Uluerea tentu memiliki cerita-cerita unik dan juga mistis di setiap daya tariknya, sebagaimana dituturkan secara lisan oleh masyarakatnya secara turun-temurun, seperti "Leang Surukang pakjenekang, Pattallassang pakbakrakkang, Uluerea pattokkona simbolengna" adalah merupakan sebuah ritual bagi pengantin yang selesai menikah sebagai tanda kesyukuran karena melangsungkan pernikahan dilanjutkan dengan pesta serta ritual melepas nazar (masyarakat setempat menyebutnya "Allappasak Samaja). Leang Surukang pakjenekang artinya tempat pengantin akan dimandikan dengan saling siram-menyiram atau menimpuk (menyemburkan air dengan dua tangan) menggunakan air. Selanjutnya Pattallassang pakbakrakang artinya sang pengantin akan dirias dengan bedak basah di sebuah sungai di kawasan Pattallassang. Terakhir Uluerea pattokkona simbolengna yg berarti pengantin baru disisir rambutnya dan dibentuk seperti atau menyerupai konde sebagai penutup dari rangkaian ritual Allappasak Samaja. Di samping itu masyarakat Pattallassang juga mengenal sebuah cerita mistik tentang "Passaungang Tau" yaitu sebuah bentuk pengadilan di masa pra Islam dimana pada waktu itu jika seseorang berselisih terhadap sesuatu (misalnya sengketa mengenai kepemilikan tanah) maka sebelum diadili kedua orang yg bersengketa itu dimandikan di sebuah tempat yaitu di Bujung Barania (bujung=Makassar; sumur=Indonesia) dan diminumkan air sumur sebelum mata mereka di tutup dengan kain kemudian diarak menuju sebuah tempat dimana terdapat sebuah batu datar yg menyerupai meja yang jika dipandang pada sisi barat maka batu/meja itu seperti melayang tidak berpijak di tanah tempat duduk dari penghulu adat (masyarakat pra Islam menyebutnya "lokmok") yg bertindak sebagai hakim yg mengadili kedua orang yg berselisih dengan cara di "saung" (diadu dgn bertarung) menggunakan batu yg menyerupai kapak yg diikat pada tangan atau "silaccik batu" (menggunakan batu berlubang yg diberi tali) lalu diputar di atas kepala kemudian dilepas menuju ke sasaran. Jika dalam pertarungan itu ada yang tewas/mati, maka yg hidup itulah yg dinyatakan sebagai pemenang dan diumumkan oleh lokmok (pemangku adat) sebagai pemilik/pemenang dari yg disengketakan tadi. Kemudian yg tewas diusung menuju ke kuburan tua yg letaknya tidak jauh dari lokasi diadakannya passaungang tau tadi.

Sebagai sebuah kawasan wisata, Pattallassang juga memiliki beberapa gua bersejarah sebagai tinggalan sejarah manusia purba yg pernah menghuni beberapa gua di kawasan ini seperti: Leang Saluka, Leang Bujung Dare, Leang Garunggung dan Leang Cumi Lantang. Tapi saat ini kita hanya fokus pd Leang Cumi Lantang. Situs ini berbentuk gua dalam yg terletak dalam kawasan Pattallassang dgn ketinggian 60 mdpl pd posisi astronomis 04°48'48" LS dan 119°36'58"BT dan mengbadap ke arah utara (345°). Lebar mulut gua 20 mtr dan tinggi 15 mtr. Di gua Cumi Lantang terdapat gambar cap tangan sebanyak 47 gambar yg tersebar di dinding kiri dan langit-langit serta temuan lain berupa alat batu serpih dan kulit kerang, bahkan ada kulit kerang yg sdh berbentuk fosil (molusca).